warrior Islamic.

"Setiap kalam yang kau katakan kerananya Allah akan uji"

Ucapan hormat.

Politik itu kotor?

Gambar kejadian:Bob diselamatkan oleh petugas PAS selepas dibelasah oleh sekumpulan Pemuda Umno)
(Gambar:Mata Bob bengkak akibat dipukul Rabu lalu dalam siri kejadian ganas pilihan raya Bagan Pinang.)
Politik sebagai Ibadah

Oleh: Aswar Hasan (Pemerhati Politik dan Media)

Presiden pertama RI Ir Soekarno pernah mengatakan, bahwa politik itu kotor. Pernyataan Bung Karno tersebut, tentu bukan tidak beralasan dan tanpa sebab. Suatu hal yang sangat bermakna mengingat Bung Karno adalah sosok politisi ulung yang kaya pengalaman, di tengah-tengah kawan dan lawan-lawan politiknya.Sebagai politisi, segenap bangsa Indonesia tak ada yang menyangsikan atau meragukan kepiawaian dan kematangannya dalam berpolitik. Maka, ketika Bung Karno menyatakan politik itu kotor, masyarakat pun percaya. Hingga kini, istilah politik itu kotor, sudah sebegitu kuat melekat di benak masyarakat. Bahkan, telah menjadi stereotype yang stigmatik terhadap para politisi.
Karena politik itu kotor, maka lahirlah politisi-politisi busuk. Yaitu, politisi yang menghalalkan segala cara (Machiavellis) dan mengabaikan fatsoen (etika) dan nilai moralitas dalam melakukan praktik politik.

Sangat boleh jadi, salah satu jenis praktik politik kotor tersebut, adalah manuver politik dengan memanfaatkan momentum Ramadan, sehingga kesakralan (kesucian) Ramadan terdegradasi dalam kemasan kepentingan politik duniawi. Dengan kata lain, telah terjadi politisasi ibadah secara tidak semestinya.

Di antara ciri mendasar untuk menemukenali bahwa telah terjadi politisasi ibadah, adalah ketika persoalan ibadah yang orientasi pokoknya adalah semata-mata mencari rida Allah, kemudian berubah/diubah menjadi persoalan yang secara marak dan fokus untuk semata mencari dan mendapatkan simpati atau rida manusia dalam bentuk dukungan politik.
Akibatnya, amaliah Ramadan, tidak lagi dimaksudkan sebagai ibadah yang semata tertuju untuk lillahi kalimatillah (untuk meninggikan kalimat Allah –Laa Ilaaha Illallah-sebagai Tauhid) ataupun sebagai aktivitas yang diarahkan untuk syiar Islam.

Dengan kata lain, politisasi ibadah adalah tindakan menjadikan perilaku beragama (ibadah) sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan politik.

Memang, perilaku beragama tidaklah serta-merta dapat atau harus dipisahkan dengan kehidupan politik. Sebab, antara agama dan politik bukanlah hal yang harus dipertentangkan. Bahkan, keduanya harus bersinergi dalam rangka berkhidmat untuk kebaikan (lihat Surah al Qasas (28):77).

Permasalahannya adalah, ketika Agama dan atau perilaku beragama masyarakat, telah diseret-seret ke dalam praktik politik dengan tujuan yang tidak ada hubungannya dengan substansi beragama itu sendiri. Substansi beragama adalah beribadah semata karena Allah swt berdasarkan prinsip tauhid.

Bahwa jika ada aktivitas politik yang dilakukan dalam suasana atau pada momentum keagamaan, maka mutlak hukumnya untuk meletakkannya sebagai wasilah (sarana) untuk beribadah. Artinya, politik sebagai alat untuk kemudahan dalam beragama.

Bukan justru menjadikan momentum keagamaan sebagai sarana berpolitik untuk tujuan politik itu sendiri, karena itu sama halnya dengan politisasi agama. Jika hal terakhir ini yang terjadi, maka makna ibadah dalam kehidupan politik akan menjadi rancu, alias tercemar. Artinya, praktik ibadah tidak lagi dilakukan secara murni untuk semata kepada Allah swt.

Ibadah sebagai Tujuan

Firman Allah dalam Alquran Surah Adz Dzaariyaat (51) ayat 56 menyatakan; “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.

Ibnu Katsir dalam menafsirkan makna ayat tersebut, mengurai, dengan penjelasan, bahwa perintah kepada manusia untuk beribadah-menyembah-, adalah bukan karena Allah membutuhkannya; agar manusia mau-baik rela atau terpaksa- melaksanakan peribadatan kepada Allah.

Tidaklah Allah swt memerintahkan untuk semata beribadah kepada-Nya melainkan karena Allah sajalah yang berhak untuk disembah. Bila manusia telah menserikatkan peribadatan kepada yang selain Allah, maka kemurkaan-Nya akan segera menimpa mereka.

Akan tetapi, bila mereka mentauhidkan-Nya di dalam peribadatan, maka Allah akan meridai mereka dan akan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Ibnu Katsir kemudian menegaskan, bahwa penjelasan perkara tersebut, adalah dimaksudkan agar mereka -umat manusia- mengamalkan apa-apa yang telah mereka ketahui sesuai dengan cara yang diridai oleh Allah swt.

Lebih lanjut Ibnu Katsir menguraikan, bahwa berkaitan dengan kewajiban beribadah untuk Allah swt adalah sama sekali tidak ada kaitan kepentingan atau kebutuhan bagi Allah terhadap umat manusia. Justru, manusialah yang membutuhkan Allah. Dialah Allah yang maha kaya, Maha Pemberi dan tidak perlu kepada semua yang terdapat di alam semesta. Dialah sang Maha Pencipta atas segalanya.

Demikianlah, karena Sesungguhnya, Allah swt telah menciptakan hamba-hamba-Nya agar mereka mengabdi hanya kepada-Nya dengan tidak mensekutukan-Nya dengan yang lain.

Dapat disimpulkan, bahwa pengertian mengabdi (beribadah) hanya kepada Allah swt dengan tidak mensekutukan-Nya, adalah dengan menjadikan segala aktivitas bertujuan semata untuk mencari ridanya, berlandaskan niat yang ikhlas tertuju kepada Allah swt dengan tata cara yang tidak bertentangan dengan syariat-Nya.

Berpolitik secara Agamis

Dalam terminologi fiqih Islam, politik berasaskan agama (agamis) dikenal dengan istilah siyasah syar’iyah. Artinya, politik yang berpatokan kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Tujuan siyasah syar’iyah adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di atas bumi, dengan senantiasa mengupayakan tercapainya maqasid syariah (tujuan syariah) yaitu, di antaranya memelihara agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta kekayaan.

Sebaliknya, jika praktik politik menegasikan atau mengabaikan maqasid syariah tersebut, maka itu sama artinya mengabaikan atau melecehkan kewajiban agama itu sendiri.

Sementara itu, upaya untuk mencapai maqasid syariah tersebut, haruslah berdasarkan prinsip-prinsip kehidupan berkeagamaan yang kemudian dapat dijadikan sebagai prinsip-prinsip dasar dalam berpolitik.

Adapun prinsip tersebut adalah: Pertama, Prinsip Tauhidullah, yaitu kesadaran bahwa segala aktivitas haruslah diabdikan semata-mata kepada Allah, dan tidak boleh ada maksud selain dari-Nya. Dari Allah, untuk Allah.

Berbanding terbalik dengan konsep demokrasi yang berprinsip dari rakyat untuk rakyat. Mengapa harus dari Allah untuk Allah? Karena semuanya berasal dari Allah, dan semuanya pada akhirnya akan kembali kepada Allah. Allah jugalah pada akhirnya yang akan menghakimi seluruh perkara dunia (politik) secara final, adil dan benar secara mutlak.

Bahwa jika manusia tidak bisa mengelak terhadap perkara penilaian manusia dalam bentuk menang kalah, maka itu adalah bentuk ujian atau fitnah bagi manusia, untuk mengukur sejauh mana tingkat konsistensinya terhadap ketaatan kepada Allah swt.

Kedua, Prinsip Syariah, merupakan konsekuensi logis sekaligus jabaran konkret secara implementatif dari prinsip tauhidullah.

Prinsip syariah berisikan pedoman tata cara dalam menjalin dan membangun serta memelihara hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah) dan hubungan antara sesama manusia (hablun min an-nas) serta hubungannya dengan lingkungan alamnya (sekitar).

Tata cara hubungan tersebut, harus merujuk kepada kitabullah (Alquran) dan sunnah Rasululullah (al-Hadits) dan jika belum ditemukan secara jelas dan rinci dari keduanya, maka akan merujuk kepada hasil ijtihad dan ijmak para ulama.

Ketiga, Prinsip Musyawarah, yaitu dalam setiap pengambilan keputusan yang memerlukan pertimbangan dan kesepakatan ditempuh melalui proses musyawarah. Musyawarah adalah bentuk spesifik demokrasi dalam Islam, yang oleh sejumlah tokoh politik Islam, seperti Abul A’la al Maududi dan Muhammad Natsir menyebutnya sebagai bentuk Teo Demokrasi (bukan Teokrasi).

Keempat, Prinsip Keadilan. Menurut para ulama salaf as shalih, kata keadilan bermakna; “meletakkan sesuatu pada tempatnya, tanpa melampaui batas.” Lawan dari keadilan, adalah kezaliman.

Amat banyak perintah berbuat adil yang diserukan dalam Alquran. Di antaranya, terdapat dalam surah al Hujurat (49): 9 yang menyatakan; “Berbuat adillah, sesungguhnya Allah suka orang yang berbuat adil”.

Juga dalam surah al Maidah (5): 8 dimana Allah swt memperingatkan untuk tidak terpengaruh oleh ulah suatu kaum, sehingga tidak berbuat adil. Maka, Allah memerintahkan, dengan mengatakan; “Berbuat adillah, itulah yang lebih dekat kepada taqwa.

Berkaitan dengan keadilan tersebut, Fakhrurrazi dalam tafsirnya menyatakan, para ulama sepakat, bahwa penguasa wajib hukumnya memerintah dengan adil. Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa keadilan politik adalah syarat pokok bagi semua bentuk pemerintahan yang sah.

Baik dengan sistem Islam, atau pun bukan. Hal itu disebabkan, karena bila keadilan menjadi dasar pengelolaan pemerintahan, maka akan sangat mungkin berhasil. Sebaliknya, bagi siapapun yang memerintah dengan kezaliman, sekalipun itu mengatasnamakan Islam, maka cepat atau lambat, pasti akan terjerumus dalam keterpurukan.

Kelima, Prinsip Kemerdekaan. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan merupakan hal yang sangat fundamental. Sebab dengan kemerdekaan, memungkinkan manusia melakukan ekspresi dan tindakan politik yang baik dan benar secara maksimal.

Dengan sebab kemerdekaan itu pulalah, manusia bisa secara adil memikul tanggung jawab dengan ikhlas, serta dengan sungguh-sungguh menunaikan amanahnya.

Salah satu prototype pribadi merdeka dalam memperjuangkan tujuan politiknya, adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rib’i bin amir, ketika menghadapi panglima Rustum. Rib’i berkata; “Aku datang diutus untuk membebaskan manusia dari penghambaan sesama manusia menuju penghambaan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia akhirat dan dari tirani agama-agama menuju keadilan Islam”.

Dalam pada itu, maka harus dimengerti, dan disadari untuk dilakoni, bahwa perjuangan politik dalam Islam adalah untuk mewujudkan kemerdekaan yang sejati bagi umat manusia dalam kehidupan bernegara.

Berdasarkan hal tersebut, maka dengan mudah dapatlah dimengerti, tentang bagaimana halnya Nabi
Muhammad saw merancang Piagam –konstitusi- Madinah yang berdasarkan napas kemerdekaan, sehingga kemudian terbukti sukses mengantar negara Kota Madinah sebagai negara yang berkeadaban.

Kelima prinsip dasar dalam berpolitik tersebut, kiranya dapat menjadi bingkai ataupun filosofi politik bagi siapa saja aktivis politik, tanpa perlu memandang dari partai mana ia berasal. Betapa tidak, karena setiap insan politik tetap harus mempertanggungjawabkan sepak terjang politiknya selama di dunia, hingga pada saat ketika di akhirat kelak.

Dan, pada saat itu, partai atau lembaga politik apapun, tidak akan dapat dijadikan sebagai dalil penjamin atau tameng dari segala kesalahan atau kelalaian dan keabaian atas tingkah laku politik yang tidak dilandasi dengan motivasi ibadah, berdasarkan prinsip politik yang agamis.

Dengan kata lain, menjadikan politik sebagai ibadah dan berpolitik secara agamis, meskipun berkiprah di partai sekuler sekalipun, adalah merupakan kewajiban individual bagi setiap insan politik.

Maka jika sudah demikian halnya, dapatlah kita meyakini secara optimis, bahwa politik itu tidaklah kotor, sebagaimana halnya dengan pernyataan Bung Karno. Bahkan, kita pun boleh mempermaklumkan bahwa sesungguhnya justru politik itu adalah suci, sesuci niat untuk menjadikan politik sebagai ibadah.

Dan karenanya, maka lahirlah politisi-politisi bersih, yang tidak lagi terkontaminasi dengan sepak terjang para politisi-politisi busuk, yang selama ini telah sebegitu dalam menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Wallahu a’lam Bis Shawabe
(Fajar)

0 comments:

Post a Comment

Followers